17.7 C
New York
Thursday, September 28, 2023

Buy now

Mengenang Pastor Adrianus Mathijsen SJ, Pastor Jesuit Terakhir di Misi Timor Barat

Mengenang Pastor Adrianus Mathijsen SJ, Pastor Jesuit terakhir di Misi Timor Barat, Amorpost.com – P. Adrianus Mathijsen SJ, datang ke Timor pada 31 Junuari 1890. Ia ditentukan untuk menggantikan P. Kuijper SJ, yang meninggal dunia di Atapupu pada tanggal 19 April 1888.

Ia tinggal dan membantu beberapa saat di stasi Atapupu, lalu bulan Juni 1890, ia pergi bersama Bruder Hansates ke Lahurus. Dengan hadirnya P. Mathijsen dan Br. Hansates, maka 10 Juli 1890, Stasi Lahurus resmi dibuka kembali, setelah ditinggalkan karena kematian P. Kuijper SJ.

Tanggal 26 September 1891, Pastoran Lahurus selesai dikerjakan dan Lahurus diangkat sebagai pusat gereja Katolik Timor barat. P. Mathijsen bercerita bahwa pada bulan itu rumah yang berukuran 10X15 meter itu diresmikan, dengan pesta besar yang berlangsung selama empat hari, termasuk pemberkatannya, pemancangan sebuah salib besar serta tari-tarian dan makan minum.

Tiga ekor kerbau pemberian para Imam dan satu lagi sebagai hadiah fetor Seran, bersama 10 ekor babi dibantai untuk perayaan itu. Misi di Fialaran-Lahurus perlahan namun pasti.

Ada beranda belakang yang luasnya 10X15 meter digunakan sebagai gereja hingga berdirinya sebuah gereja yang bagus dan luas berukuran 30X10 meter pada tahun 1901. Tahun 1892, P. A. Mathijsen mempermandikan 75 orang pertama di Lahurus. Tahun 1893 mempermandikan lagi 31 orang.

Perkembangan misi di stasi Lahurus-Fialaran pada awalnya agak mengecewakan. Pastor Mathijsen sempat melukiskan kekecewaan dan pesimistisnya lewat surat kepada Mgr. Staal.

Namun beberapa saat kemudian Pastor Mathijsen kembali menulis surat bahwa ia menyesal atas anggapan pesimistisnya dan menarik kembali pernyataannya untuk tidak mendirikan gereja Lahurus, karena ternyata ada perkembangan positif setelah ada masa kegelapan itu.

Ia mengaku bahwa memang benar, jalannya sangat lamban dan harus terus menerus bersabar. Pastor Mathijsen melukiskan perkembangan itu bahwa keempat tamukung yang pernah berjanji di depan Monsinyur telah berhasil dipermandikan.

P. Mathijsen sendiri telah berhasil mengunjungi 70 sampai 80 kampung untuk mengajarkan katekismus, dan setiap minggu ada 100 sampai 110 orang menghadiri Misa, umat telah ikut berpartisipasi dalam permbangunan gereja dan setiap minggu selalu ada saja yang datang minta permandian.

Akhir 1896 pastor Mathijsen melaporkan bahwa jumlah umat Fialaran adalah 836, pembaptisan selama tahun itu 56, pengakuan 69, perkawinan 4 pasang, sambut paskah 95, komuni pertama 17, jumlah komuni 415 dan kematian 4 orang.

Mengenai paroki pantai Atapupu ia melaporkan bahwa jumlah umat Kristen sebanyak 760, sambut paska 233, pembaptisan 17, komuni pertama 12, perkawinan 11 dan jumlah sambut baru 1.191 orang.

Awal tahun 1900-an P. Mathijsen mengadakan beberapa kali kunjungan ke wilayah Belu Selatan. Ia pergi mengunjungi Klobar Nai (seorang fetor dan penguasa) di Alas. Ketika kembali ia membawa keponakan dari Klobar Nai yang bernama Likki, untuk dibina dan dididik di lembaga pendidikan Lahurus.

Tahun 1903 pastor Mathijsen diundang oleh Kontroleur Belu untuk bersama-sama pergi ke kerajaan Wehali dan Wewiku.

Rombongan itu terdiri dari Kontroleur, penguasa wilayah Belu dan seorang sersan Eropa dan dikawal oleh 30 orang polisi lengkap dengan senjata. Mereka berangkat pada tanggal 31 Juli dan tiba di Wehali pada tanggal 5 Agustus.

Kehadiran mereka kurang mendapat respons dari raja Wehali, tetapi mereka tetap berkeliling di kampung-kampung sekitar. Pastor Mathijsen menemukan bahwa sangat berbeda dengan keadaan di Fialaran dan Atapupu, Belu selatan sungguh rata dan sangat hijauh.

Ia sendiri bercita-cita jika suatu hari dapat mendirikan rumah misi di sana. Hari berikutnya mereka ke kerajaan Wewiku.

Mereka dapat respons yang lebih positif. Di sana mereka mengunjungi beberapa kampung yang lebih teratur dibanding dengan di Fialaran. Mereka juga sempat ke pantai yang indah itu.

Pastor Mathijsen kemudian minta ijin untuk balik lebih dulu ke Fialaran karena hari Sabtunya ada pesta Maria diangkat ke Surga. Ia tiba di Lahurus dengan selamat.

Pater-pater Jesuit saat itu tidak hanya mengurus sekolah, tetapi juga sungguh-sungguh berjuang untuk mengenal budaya dan pandai berbahasa Tetun. Pastor Mathijsen Misalnya sangat fasih berbahasa Tetun.

Ia mengajar agama dan berkotbah dengan menggunakan bahasa Tetun. Selama musim hujan, di mana tidak bisa keluar ke kampung-kampung untuk mengajar katekese, pastor Mathijsen biasa menggunakan kesempatan itu untuk membuat kamus Belanda-Tetun dan Tata bahasa Malayu.

Minat P. Mathijsen ini cocok dengan minat Mgr.Lujpen, karena ketika bertugas di Maumere dan Sika, ia mencetak terjemahan perjanjanjian baru ke dalam bahasa Sika. Monsinyur juga mengajak para misionaris di mana saja mereka bertugas untuk melakukan kegiatan bahasa yang sama.

P. Mathijsen telah mengisi blanko daftar kata-kata Tetun-Belanda, dan bersamaan dengan Tata Bahasa Malayu yang telah ia buat, diserahkan kepada Residen untuk selanjutnya dicetak.

Tetapi sampai saat itu belum juga dicetak, dan bahkan tidak mendengar perkembangannya. Maka P. Mathijsen mendesak Mgr. Lujpen supaya dalam pertemuan-pertemuan dengan pemerintah, tolong tanyakan perkembangannya.

P. Mathijsen juga sangat berjasah dalam hal pengadaan buku–buku rohani (kitab suci katekismus dan buku doa dan nyanyian) berbahasa Tetun.

Pada tahun 1904 -1907, P. Mathijsen berhasil menerjemahkan perikope- perikope kitab suci ke dalam bahasa Tetun yang hingga kini dikenal dengan nama ”testament tuan” dan “testament foun”.

Ia juga menulis sebuah kamus berbahasa Belanda-Tetun, suatu katekismus, buku sembahyang dan nyanyian dalam bahasa Tetun.

Tanggal 2 Mei P. Superior Jesuit, Engbers menulis surat kepada P. Noyen dan dikirim lewat P. Verstraelen. Isi suratnya bahwa ia mengharapkan kedatangan P. Mathijsen sekitar tanggal 25 Mei tahun itu.

Bersamaan dengan kedatangan P. Verstraelen SVD dan Bruder Lucian Molken SVD pada tanggal 14 Mei 1913 di Timor, maka P. Mathijsen SJ memutuskan untuk meninggalkan Timor dengan kapal yang sama.

Menyikapi keputusan ini, maka P. Noyen segera mengatur suatu perpisahan dengan P. Mathijsen. Tanggal 16 Mei P. Noyen mengirim anak-anak sekolah ke kampung-kampung, membawa berita bahwa hari Minggu P. Mathijsen akan menyampaikan pesan terakhir karena ia akan segera meninggalkan Timor.

Dan hari Minggu 18 Mei itu kehadiran umat sungguh luar biasa. Setelah Misa yang mulia itu, P. Mathijsen menyampaikan pesan terakhirnya kepada umat yang ditinggalkan.

P. Mathijsen sangat terharu, sehingga ketika baru mulai dengan kata-kata pertama, ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya dan menangis. Seluruh umat yang hadir pun turut terharu dan terisak-isak bersama.

Selanjutnya pastor Mathijsen berpesan supaya mereka bertahan sebagai orang Katolik yang baik dan setia, supaya melakukan apa yang telah ia ajarkan. Pada hari keberangkatannya pastor Mathijsan diantar oleh para pastor dan ratusan umat dari Lahurus. Ketika kapal tertunda kedatangannya umat pun setia menginap beberapa malam di Atapupu.

P. Mathijsen adalah seorang misionaris Jesuit yang telah bekerja selama 25 tahun di Timor. Ia adalah misionaris terakhir yang mengangkat kaki dari Timor barat, setelah menyerahkan segalanya kepada SVD.

Di tahun-tahun terakhir tenaganya telah terkuras benar. Demam malaria membuatnya tidak bisa berkunjung dan berpatroli ke kampung-kampung di parokinya.

Bahkan saat meninggalkan pelabuhan Atapupu pun ia masih dalam keadaan sakit malaria. Itu merupakan sebuah tanda penyerahan diri pada misi, di mana ia mencurahkan seluruh tenaga dan hidupnya kepada misi hingga saat-saat terakhir meninggalkan Timor.

Ia selanjutnya menjadi pastor pembantu Batavia, kemudian diberi kesempatan untuk cuti ke tanah airnya, kembali ke Hindia Belanda ia bertugas sebagai pastor pembantu di Semarang. Pastor Mathijsen meninggal pada tanggal 12 Desember 1935 dan dikuburkan di Yogyakarta.

Sebagai rekan kerja selama 4 bulan lebih P. Noyen SVD memberi kesan bahwa P. Mathijsen adalah “seorang yang lembut, selalu ramah dan siap untuk setiap pelayanan.

Sebagai seorang biarawan ia melaksanakan kewajiban rohaninya dengan sangat tertib…. kalau ia hendak memberi sesuatu kepada umat, ia selalu datang meminta izin kepada saya, kendati saya sudah sering menegaskan kepadanya, bahwa ia dapat mempergunakan semuanya itu seperti dulu sesuai dengan kehendaknya.”

Kongregasi Jesuit telah mengambil alih misi Timor di Hindia Belanda sejak tahun 1865. Dan setelah 47 tahun berkarya di Timor, dengan lapang dada mereka menyerahkan misi yang telah memakan banyak korban dari para misionarisnya.

Tulang belulang kedua misionaris Jesuit, P. Jakob Kraaijvanger SJ dan P. Kuijper SJ yang tertanam di Atapupu menumbuhkan benih iman dari umat Timor, sekaligus menjadi fondasi yang kuat bagi para misionaris SVD selanjutnya. Sungguh suatu pengorbanan, sekaligus pengabdian total dari para misionaris Jesuit yang patut mendapat apresiasi yang tinggi.

Amor
Amorhttp://www.amorpost.com
Adrian B., SS.STB, Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Ateneo de Manila University. Hoby Menulis, Membaca, Web Design, Fotografy, Beternak, Touring dan Kegiatan Karitative.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,873FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Articles