6 Kisah Menarik Kunjungan Misionars SVD Pertama di Tanah Timor pada November 1913, Amorpost.com – Sejak para Misionaris Yesuit Belanda membuka kembali Gereja Katolik di Timor pada tahun 1883, mereka hanya diizinkan untuk melakukan pelayanan di Atapupu dan Lahurus yang merupakan pusat kerajaan Janilo dan Fialaran.
Mereka boleh mengunjungi tempat-tempat sekitar tetapi tidak boleh membuka stasi tanpa mendapat izin dari pimpinan tertinggi Belanda setempat.
Ketika para misionaris SVD mengambil alih misi Timor, mereka melakukan banyak lobi dengan pimpinan tertinggi pemerintahan Belanda di Batavia, supaya diizinkan mengunjungi dan melihat kemungkinan memperluas wilayah pelayanan Gereja Katolik di Timor bagian utara.

Berdasarkan izin ini maka, pada pertengahan bulan November 1913, P. Noyen dan P. Verstraelen mengadakan suatu perjalanan ke Timor bagian tengah. Mereka mulai dari Atapupu, Atambua, Naitimu (Halilulik), Sufa, Maubesi, Bitauni, dan Oelolok (Insana).
Ada enam kisah menarik sebagai hasil kunjungan kedua misionaris SVD pertama ini di tempat-tempat tersebut di atas:
Atambua
Tanggal 15 November 1913 P. Noyen dan P. Verstraelen memulai perjalanan mereka ke pedalaman Timor dari Atapupu. Tempat tujuan pertama mereka adalah Atambua. Atambua letaknya di pegunungan, sekitar 4 jam perjalanan dengan kuda dari Atapupu.
Mereka tiba di Atambua pada jam 11 siang, dan menginap di pasangerahan Atambua, yang dijaga oleh seorang polisi militer kolonial Belanda.
Setelah menurunkan semua barang mereka, P. Noyen dan P. Verstraelen mengunjungi kampung di sekitar. Ketika sedang menuju kampung, mereka bertemu dengan seorang anak yang sedang bekerja di kebun, menggunakan salib di dada.
Ternyata ia belum dibaptis tapi kedua kakaknya yang tinggal di Tenu sudah dibaptis dan salah satu dari kakaknya bisa membaca dan menulis karena pernah mengunjungi sekolah selama 7 tahun di sekolah yang dikelolah pater-pater Yesuit di Timor Portugis.
Anak-anak itu adalah anak dari kepala kampung Tenu. Para misionaris itu juga menemukan bahwa penduduk kampung itu adalah pelarian dari Timor Portugis.
Kedua misionaris itu pun mengundang mereka supaya besoknya datang ke pasanggerahan untuk mengikuti Misa hari Minggu. P. Noyen melihat bahwa Atambua di masa yang akan datang akan berkembang menjadi salah satu tempat yang penting bagi wilayah misi di Timor.
Rencananya pegawai sipil dan militer hendak membangun markas di sana. Karena letaknya dekat Timor Portugis, maka di Atambua akan ditempatkan satu kompi militer. Kapitan akan membangun markasnya, demikian juga Kontroleur atau pejabat sipil yang sampai saat itu masih tinggal di Atapupu.
Karena rencana itu, maka sudah ada lima orang Cina yang membangun rumah bagus di tepi jalan besar. Pemerintah sipil juga berencana untuk memindahkan penduduk Lidak yang sampai saat itu menyembunyikan diri di balik pegunungan. P. Noyen berpendapat bahwa tempat ini sangat penting bagi misi, dan seorang pastor harus datang dan menetap di situ.
Naitimu-Halilulik
Dari Atambua kedua misionaris ini melanjutkan perjalanan ke Naitimu. Setelah 2½ jam perjalanan akhirnya mereka tiba di Wetabora, tempat tinggal raja Don Bisanti. Di sana mereka bertemu dengan Don Bisanti yang kemudian menghadiakan mereka seekor ayam jantan.
Pada malamnya datang juga beberapa pimpinan kampung sekitar untuk bertemu P. Noyen dan P. Verstraelen. Pada kesempatan itu P. Noyen berbicara tentang agama, dan kesannya ada harapan untuk masa depan misi.
Besoknya tanggal 18 November, Don Bisanti datang mengikuti Misa, dan setelah sarapan kedua misionaris ini mengunjungi kebun raja Don yang ada di dekat rumahnya. Raja Don juga berbicara tentang sebuah dataran besar, yang cukup banyak air untuk ditanami kentang. Hari itu juga P. Verstraelen mempermandikan 3 anak raja Don Bisanti yang selama ini masih kafir.
Dari sana mereka dihantar oleh seorang pimpinan setempat untuk melanjutkan perjalanan lewat dataran besar Oeroki yang luas. P. Noyen memberi kesan bahwa Oeroki yang rata, luas, dan punya sumber air yang cukup ini kelak dapat menjadi tempat yang baik untuk misi.
Sufa
Dari Oeroki kedua misionaris ini melanjutkan perjalanan ke Sufa, tempat tinggal raja Biboki. Mereka tiba di Sufa pada jam 11.30, di mana mereka bertemu raja Sufa dan Cina Lay yang dikenal dan dihormati di seluruh wilayah. Mereka tinggal di sebuah pasanggerahan, yang dibangun tinggi dengan ventilasi udara yang baik, dibuat dari alang-alang dan bambu, tapi lantainya menggunakan semen.
Pasanggerahan yang tertata rapi ini, dilengkapi dengan meja dan kursi serta kamar-kamarnya terlindungi dari angin dan panas oleh sebuah kain putih besar.
Sufa adalah pusat kerajaan Biboki, letaknya 500 meter diatas permukaan laut, udaranya sejuk pada malam hari. Mata air yang jernih di belakang pasanggerahan memberi air minum dan air mandi yang segar. Raja dan Cina Lay kemudian membawakan hadiah ayam, telur, beras dan nenas yang sedap dan harum.
Esoknya tanggal 20 November 1913 raja dan Cina Lay menghantar kedua misionaris itu untuk bertemu dengan yang kudus dari Biboki. Ia tinggal di puncak, di mana untuk mencapai tempat itu harus merangkak beberapa ratus meter. Karena sudah tua, maka ia ditandu keluar dari rumahnya yang sederhana, lalu didudukan di sebuah batu yang rata di samping istrinya.
Beberapa orang memegang kain pelindung mata hari. Semua anak buahnya telah membangun rumah di dekatnya. Merekalah yang melindungi, melayani dan mengerjakan kebunnya. Seluruh masyarakat menghormati orang tua ini, takut dan memandangnya sebagai orang yang diutus roh-roh.
Maubesi
Tanggal 21 November, P. Noyen dan P. Verstraelen meneruskan perjalanan ke Maubesi. Setelah berjalan selama lima jam, akhirnya mereka tiba di pasangrahan Maubesi sekitar 11.30.
Ketika itu di Maubesi sedang dibangun jalan baru, karena itu ada patokan bambu di kiri – kanan jalan. Di mana-mana tampak kekeringan karena bulan ini merupakan puncak musim panas. Dalam perjalanan hanya tampak satu pondok karena kampung-kampung letaknya tersembunyi.
Di sebuah dataran rata tampak sebuah tiang kayu, yang mempunyai dua ujung. Di sini biasanya dipenggal kepala pencuri dan dipancang di tiang itu, supaya orang takut dan tidak melakukan pencurian lagi. Kebiasaan ini masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian.
Sejak masalah pencurian ditangani pemerintah kolonial Belanda, maka hukuman mati ditiadakan dan diberlakukan pembuangan selama beberapa tahun ke pulau lain, di mana mereka disebut sebagai “anak rantai”.
Anak rantai” adalah para narapidana atau orang-orang buangan dari pulau lain. Mereka dibuang karena kejahatan politik atau kejahatan lainnya. Mereka memakai pakaian seragan warna sawo matang, selalu diawasi polisi dan harus bekerja keras.
Mereka merupakan tenaga kerja murah bagi pemerintah. Di Maubesi juga ada banyak “anak rantai” dari pulau lain, yang selalu menggunakan seragam merah tua, dan mereka menjadi tenaga kerja murah bagi pemerintah.
Kedua misionaris ini menemukan juga bahwa orang-orang Maubesi menggunakan bahasa yang lain sekali dari kebanyakan penduduk di Utara, tapi pengantar mereka yang bernama Markus, dapat bercakap-cakap dengan mereka.
Selain itu aktivitas perdagangan di Maubesi menggunakan cara barter karena tidak ada uang yang beredar di sana. Ada seorang Cina di Maubesi waktu itu yang sudah lama tinggal tetap di situ dan berhasil berdagang secara barter.
Kedua anak laki-lakinya, menggunakan pakaian yang pantas dan bersikap sangat sopan. Mereka berbeda dengan anak-anak kampung yang takut-takut dan mengenakan pakaian yang kurang pantas. Kedua anak orang Cina itu datang memberi hormat kepada kedua misionaris SVD ini dengan sangat sopan.
Kepala kampung tidak ada di tempat, tetapi penduduk setempat sangat ramah dan baik, membawa bagi para misionaris itu bermacam-macam pemberian seperti telur, ayam, buah kelapa dan sebagainya. Di Maubesi tidak ada mata air, tetapi tak begitu jauh dari kampung itu ada satu sungai besar yang dikenal dengan nama kali Maubesi, yang mengalir hingga ke Besikama.
Penduduk setempat menggali lubang kecil di penggir (kadang di tengah kali kalau sungainya lagi kering) selaku sumur untuk air minum. Kedua misionaris ini menemukan bahwa saat itu puncak kemarau sehingga dimana-mana sangat kering, segalanya kuning, dan rumput-rumput mati.
Kedatangan kedua misionaris SVD ini rupanya mambawa rahmat berlimpah sehingga kehadiran mereka sekaligus membuka awal musim hujan dengan kilat dan Guntur menggelegar. P. Piet Noyen, SVD menulis bahwa, “baru saja kami bersenang sedikit di bivak kami, terjadilah kilat dan Guntur, yang disertai dengan hujan tropika dan badai yang hebat, yang dengan kekuatan besar turun di atas atap yang lebar dan tidak kuat itu, yang mengguncang turun naik sehingga tiba-tiba satu balok melintang patah dengan bunyi yang mengejutkan.
Celakalah pasanggerahan kami. P. Verstraelen dengan sekonyong-konyong berdiri di luar, di dalam hujan, sementara saya belum berniat ke situ, tetapi siapkan diri pada suatu sudut pondok itu, menantikan apa yang lebih buruk lagi. Mujurlah, badai itu mereda dan kami pun sadar dari terkejut,”. (Marsel Seran Pr (penerjemah), Karya Misi di Timor Jilid II, (diterjemahkan dari Misisie Wix Op Timor, dari Bruder Laan Petrus SVD))
Tanggal 22 November 1913, jam 07.30 kedua misionaris SVD ini bersama rombongannya dihantar oleh seorang kepala pasukan berkuda ke Gua Bitauni. Banyak hal menarik yang mereka alami ketika keluar dari Maubesi.
Mereka menyaksikan begitu banyak pohon lontar, yang dihiasi dengan tempayan-tempayan dipuncaknya. Tempayan-tempayan di puncak pohon itu adalah untuk menampung air nira yang akan diturunkan setiap pagi dan sore.
Yang menarik bahwa mereka menyaksikan penduduk setempat dalam waktu singkat (kurang dari setengah menit) dapat mengerjakan penimbah (tempayan) dari daun lontar yang tak diserapi air. Komentar P. Piet Noyen bahwa “alam telah menyediakan segala-galanya bagi orang di sini.”
Mereka juga bertemu dengan dua anak yang membawa nira penuh dalam penimbahnya. Kedua misionaris ini pun mencoba beberapa teguk, dan rasanya seperti air buah-buahan yang tak diragi.
Gua Bitauni
Sekitar jam 10 kedua misionaris SVD itu tiba di gua Bitauni. Pada ketinggian 60 meter tampak pada gunung batu itu pintu masuk gua.
Cukup banyak rumah kecil, yang menyerupai sarang lebah besar, yang di mana-mana melekat pada bukit batu itu seperti sarang burung layang-layang. Penduduk di sekitar gua itu adalah pengawal sekaligus penjaga tempat kudus itu. Mereka bertugas untuk menjaga kebersihan dan kerapian gua itu.
Dengan penuh perhatian kedua misionaris itu mendaki bukit batu itu. Jalan ke atas lubang gua itu sangat terjal, mereka harus berusaha berpijak pada batu karang dan berpegang pada kayu atau pun batu di siang hari yang sangat panas itu.
Ketika mereka masuk ke dalam gua itu, mereka menemukan dua buah altar atau rumah suci, yang dibangun dengan sangat sederhana dari kayu kasar dan tikar. Dalam sebuah rumah yang suci itu terdapat sebuah salib, yang disembah secara kafir.
Ada juga satu patung Bunda Maria, yang oleh penduduk setempat disebut wanita Ilahi. Di sampingnya berdiri sebuah salib lain yang tidak ada korpusnya. Ada bangku di bahwa kaki kedua Salib itu, yang dahulu dipergunakan para misionaris sebagai kaki salib.
Ada sebuah botol yang berisi air, yang mereka sebut sebagai air berkat. Ada lagi satu kaki lilin yang dibawah ke sini oleh keluarga raja katolik dari Noemuti, wilayah Portugis waktu itu. Ketika tidak ada lagi Imam dari Noemuti yang mengunjungi mereka secara rutin, iman mereka pun semakin lama semakin bercampur dengan praktek kafir.
Mereka membawa kurban di gua ini dengan cara kafir, seperti yang mereka lakukan untuk dewa-dewi mereka. Mereka merayakan Paskah pada bulan Maret atau April.
Mereka sering ke Atapupu untuk mencari tahu kapan perayaan Paskah. Berdasarkan informasi itu mereka mulai mempersiapkan gua itu dengan berbagai macam hiasan.
Pada hari Kamis Putih raja dan para pemimpinnya akan datang dalam pakaian kebesaran mereka untuk berdoa dalam gua itu. Pada hari Jumat dan Sabtu mereka harus membuka kain di kepalanya sebagai tanda berkabung karena kematian Yesus Kristus.
Sedangkan pada perayaan Paskah sendiri, mereka rayakan dengan penuh kegembiraan. Pada hari Paskah mereka akan menyembeli sapi dan babi untuk makan bersama dan tentu dengan tambahan tuak. Umat di sekitar gua seperti domba ketiadaan gembala.
Raja Insana, penguasa wilayah ini sendiri telah meminta kepada P. Noyen secara pribadi, supaya kalau boleh menempatkan seorang Imam, tapi P. Noyen tidak bisa berbuat banyak karena ketiadaan tenaga.
Oelolok
Setelah mengasoh sebentar, P. Noyen dan P. Verstraelen meneruskan perjalanan ke Oelolok untuk bertemu dengan raja Insana. Di Oelolok, mereka menyaksikan sebuah sungai yang jernih mengalir dari gunung batu, membela kampung Oelolok menuju ke sungai atau kali besar.
Pemandu telah membawa berita kepada seorang Nai, dan Nai menyuruh seorang temukung menjemput kedua misionaris itu. Di sana telah berkumpul para pemimpin dan rakyatnya, menyambut kedua misionaris itu dengan penuh ramah.
Pater Noyen menggunakan kesempatan itu menunjukkan kepada mereka salib misi, sama seperti yang mereka sembah di gua Bitauni. Raja mendengar dengan penuh perhatian.
Kepada P. Noyen raja menyampaikan bahwa ia merindukan kehadiran seorang misionaris, dan ia bersedia membangun rumah dan sekolah bagi para misionaris. Esoknya hari mingggu tanggal 23, raja dan para pemimpin datang mengikuti Misa. Siangnya raja mengundang semua rombongan P. Noyen untuk makan siang di rumahnya.
Sore harinya, kedua misionaris itu meninjau keliling kampung bersama raja, untuk melihat tempat yang tepat untuk rumah misi kelak. P. Noyen sangat puas dengan keadaan Oelolok dan langsung memutuskan bahwa stasi pertama yang akan dibangun akan berdiri di sini, kalau diperkenankan Tuhan.
Keputusan ini ternyata baru terlaksana pada tahun 1929, ketika di Oelolok didirikan sebuah stasi untuk melayani umat Insana dan Biboki. Stasi Oelolok berdiri setelah stasi Tubaki (1914), Halilulik (1918) dan Noemuti (1925).
Kunjungan ke gua Bitauni sangat memuaskan karena menguatkan harapan para misionaris ini untuk misi yang lebih sukses di masa yang akan datang.
Selanjutnya para misionaris ini melanjutkan perjalanan ke Belu Selatan yang akan diceriterakan pada tulisan berikut.