
“Menyebranglah Kemari dan Selamatkan Kami” (Kisah Perjalanan Misi Ke Tapil-Sumba Timur), Amorpost.com – Sejak awal bulan Oktober, bersama pastor paroki kami telah menjadwalkan pelayanan pastoral ke wilayah selatan paroki. Wilayah selatan terdiri dari dua stasi, stasi Bhila dan stasi Praing Kareha. Jarak tempuh untuk mencapai kedua stasi ini lumayan jauh dan menguras tenaga, (Bhila 56km dan Praing Kareha 78km).
Selain jarak tempuh yang jauh, untuk mencapai kedua stasi ini, kita harus melewati bukit-bukit dan gunung-gunung yang membentang sepanjang jalan. Jalan untuk mencapai kedua stasi ini pun rusak. Aspal yang barangkali sudah dibuat mungkin sudah belasan tahun lalu. Kini sudah rusak, terkelupas dan mulai berlubang. Jika pada musim hujan, maka kita seolah-olah berjalan di dalam kubangan.
Kedua stasi ini dikunjungi sebulan sekali. Dengan jarak tempuh yang demikian dan kekurangan tenaga imam, maka praktisnya hanya bisa dilayani sebulan sekali. Biasanya patroli bergantian dengan pastor paroki.
Jumlah umat di kedua stasi itu juga tidak begitu banyak. Stasi Bhila yang merupakan stasi di pusat kecamatan berjumlah 47 jiwa. Itupun karena ada pendatang dari Timor dan Flores yang karena pekerjaan, mereka tinggal dan menetap untuk sementara waktu di situ. Sedangkan stasi Praing Kareha berjumlah 57 jiwa. Hampir semuanya merupakan penduduk asli dan karena faktor kawin mawin, ada beberapa umat yang berasal dari luar.
Tinggal jauh dari keramaian kota, sinyal telekomunikasi yang tidak ada membuat umat di kedua stasi ini boleh dikatakan terisolir. Tidak bisa mengakses perkembangan zaman. Dengan demikian, mereka tetap hidup dalam tradisi budaya Sumba.
Barangkali faktor ini menjadi salah satu indikator mengapa terkesan tidak ada kemajuan dalam hal Sumber Daya Manusia. Ada juga yang memilih sekolah ke kota tetapi ketika kembali ke kampung halaman, tradisi dan pola pikir mereka kemudian kembali ke semula.
Hidup mereka hampir seluruhnya tergantung pada sawah. Sumber air melimpah, karena di sana (Praing Kareha) memiliki Air Terjun yang indah, Laputi. Dari Laputi, pemerintah mengolahnya dan membuat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang digunakan sebagai penerang pada malam hari.
Hal itu berarti, sumber air untuk mengolah sawah tidak mengenal musim. Mereka bisa bekerja sepangjang tahun untuk mengolah sawah mereka. Namun, tidaklah demikian. Mereka juga bahkan menunggu hingga musim hujan, di situ mereka baru akan memulai mengolah sawah sebagaimana lazimnya yang lainnya. Padahal air yang melimpah bisa digunakan untuk mengolah sawah sepanjang tahun.

Akses transportasi dari dan ke dua tempat ini juga susah. Jika ingin ke Waingapu sebagai pusat kebupaten, mereka harus rela untuk tidak tidur malam sebab mobil kayu (truk yang digunakan sebagai alat transportasi umum) harus keluar dari sana pada jam 01.00 dini hari.
Dengan kondisi jalan yang demikian, maka otomatis biaya transportasi juga tidak sedikit. Jika ingin memasarkan hasil pertanian atau peternakan dan lain-lain, maka membutuhkan biaya yang besar untuk bisa sampai ke kota. Jika memasarkan di tempatnya, maka otomatis harganya di bawah standar.
Betapa susahnya hidup di Indonesia yang sudah merdeka 72 tahun. Begitu pikirku ketika dalam perjalanan ke sana dan sempat berhenti beristirahat di bawah sebuah pohon besar yang rindang.
Tapil: Mari jamah kami Pastor
Pada awal bulan Oktober, ada seorang bapak datang ke pastoral. Ketika dia tiba di pastoran, saya sedang mencari kemiri di halaman pastoran. Dia sendiri belum kenal saya. Kami memang baru bertemu pertama kali.
Setelah turun dari motornya dan menyampaikan salam, dia bertanya “saya mau bertemu dengan pastor di sini”. Saya sendiri tidak memperkenalkan diri sebagai pastor tetapi saya memintanya untuk masuk dan beristirahat di pastoran.
Beberapa menit kemudian, saya menyusul ke pastoran dan di sana bapak ini telah duduk dan berbincang-bincang dengan bapak Lorens Lodu, mantan guru agama di paroki yang memilih membantu di sekretariat setelah pensiun dari guru agama Katolik.
Rupanya dia telah tahu dari bapak Lorens sehingga ketika saya tiba di pastoran, beliau bangun dan bersalaman dan menyampaikan permohonan maaf karena tidak mengenal saya yang adalah pastor.
Bapak pastor, saya datang mewakili beberapa umat di kampung saya untuk menyampaikan supaya nanti bapak pastor datang ke kampung kami dan melayani kami. Kami di sana yang sudah Katolik ada 2 orang dan yang lainnya masih Marapu dan sudah terhitung sebagai simpatisan Katolik.
Berita ini tentunya merupakan berita gembira. Wilayah Sumba Timur yang masih terikat kuat dengan kepercayaan asli sangat susah untuk bisa “diinjili”. Maka, informasi ini perlu ditanggapi dengan serius.
Karena itu, dua hari kemudian, pastor paroki, P. Gregorius Geroda, SVD bersama seorang pembina umat mengunjungi Tapil, tempat yang akan menjadi medan misi baru dari paroki Sang Sabda Lewa. Dengan bermalam di sana, diadakan pembinaan iman dan pengakuan dosa untuk umat yang telah dibaptis puluhan tahun lalu.
Tapil, humus yang mengendap
Sabtu (27/10), bersama pembina umat (orang-orang yang dilatih secara khusus untuk memimpin ibadat di setiap stasi) kami mengunjungi umat dan simpatisan di Tapil. Perjalanan menuju ke Tapil memakan waktu 1 jam dari pusat paroki (bermotor).

Perjalanan melewati bukit-bukit dan hutan serta tanjakan-tanjakan yang mendebarkan. Di tengah hutan yang terdengar hanya bunyi burung dan sesekali di jalan kami menjumpai rombongan monyet yang mencari makan.
Sekitar jam 12.00 siang, kami tiba di Tapil. Umat sudah siap menyongsong kami. Suguhan sirih pinang sebagai budaya menerima tamu disuguhkan. Di balai-balai, mereka menerima kami dengan penuh persaudaraan.
Tapil sendiri dalam bahasa Sumba Timur artinya humus yang mengendap. Di daerah ini, tanahnya hitam dan sangat cocok untuk bercocok tanam. Tanah hitam di wilayah Sumba Timur jarang ditemukan. Tanah di Sumba Timur hampir kebanyakan tanah merah atau tanah putih. Maka untuk bercocok tanam, tanah ini jika tidak diolah dengan baik maka hasilnyapun tidak memuaskan.
Tapil sendiri berada di bawah kami gunung. Barangkali humus yang dibawa air hujan pada musim penghujang dan menjadikan daerah itu tanahnya hitam. Bisa jadi alasan itu yang menjadi latar belakang mengapa nama tempat ini, Tapil yang artinya humus yang mengendap. Hal ini diamini oleh bapak Petrus yang menjadi inisiator akan kunjungan kami.
Ekaristi yang meneguhkan
Perjumpaan kami yang terjadi hari itu adalah perjumpaan pertama kalinya. Sekitar belasan orang hadir, baik dari Gereja Protestan maupun yang masih Marapu. Kami bergabung sebagai sebuah keluarga. Dalam nuansa persaudaraan, kami berbagi cerita seputar iman. Ada sharing iman yang membuat mereka diteguhkan setelah selama ini tidak mengenal agama Katolik secara baik.

Bapa Petrus sekeluarga yang telah lebih dahulu dibaptis bercerita soal kehidupan imannya sejak ia memilih kembali ke Tapil. Kami tidak tahu di mana kami harus merayakan misa karena kami ini ada di daerah terpencil.
Namun, kami tidak pernah ada niat untuk pindah agama karena kami sudah berjanji untuk menjadi orang Katolik seumur hidup. Maka, meskipun kami tidak merayakan ekaristi selama bertahun-tahun tetapi kami tetap mempunyai kerinduan akan tubuh dan darah Kristus, katanya.
Lebih lanjut dia bercerita bahwa mereka sudah terus-menerus diajak keluarga untuk bergabung dengan agama Protestan yang ada untuk lebih gampang beribadat tetapi mereka tetap pada keputusan mereka. Setiap hari Minggu dan pada bulan Mei dan Oktober, kami selalu berdoa dalam keluarga.
Puji Tuhan. Tuhan telah mengabulkan permohonan kami. Ia telah mengutus hamba-hamba-Nya untuk datang melayani kami. Ini sebuah suka cita yang luar biasa. Kami bersyukur untuk semua kebaikan Tuhan yang diberikan kepada kami. Puji Tuhan, katanya dengan air mata yang mulai menetes.
Tepat pukul 15.30 WITA, kami merayakan ekaristi. Bersama umat yang masih simpatisan (bakal masuk Katolik), kami merayakan ekaristi di rumah bapak Petrus. Suasana penuh khusuk, meskipun yang hadir kebanyakan beragama Protestan dan sebagian kecil masih menganut agama asli Marapu.

Setelah merayakan ekaristi, saya bersama pembina umat melanjutkan perjalanan ke stasi Praing Kareha melalui “jalan tikus” yang bisa mempercepat perjalanan kami, mengingat matahari sudah terbenam dan kami harus melewati sebuah hutan dengan jalan yang tidak menentu.
Kami sendiri baru pertama kali melewati jalan tersebut, sehingga kami mengandalkan naluri untuk bisa menembusi hutan rimba tersebut.
Baca juga: Pesan Uskup Weetebula Saat Berkati Gereja Stasi Sta. Maria Imaculata-Praipaha Sumba Timur
Tuhan itu baik. Ia senantiasa membimbing dan menuntun hamba-hamban-Nya. Puji Tuhan. Kami pada akhirnya tiba di Praing Kareha pada pukul 19.00 WITA tanpa tersesat.
Oleh: RP. Dantho, SVD
Pastor Rekan Paroki Sang Sabda Lewa-Sumba Timur-NTT