1.6 C
New York
Tuesday, November 28, 2023

Buy now

Full Day School: Antara Penguatan Institusi Sekolah dan Laboratorium Manusia

Full Day School: Antara Penguatan Institusi Sekolah dan Laboratorium Manusia , Amorpost.com – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Muhadjir Effendy telah merancang dan mengaktualisasikan sebuah terobosan program baru terkait kegiatan belajar-mengajar (KBM) di sekolah yang dilaksanakan pada Senin sampai dengan Jumat dalam 8 jam durasi waktu. Program ini disebut belajar sepanjang hari penuh atau lazim dikenal dengan istilah full day school (FDS).

Sasaran utama kebijakan FDS ini, menurut Menteri Muhadjir, untuk meningkatkan kinerja guru-guru di Indonesia. Materi pelajaran tidak mengalami penambahan, hanya jumlah jam yang mengalami penambahan. Penambahan waktu ini diisi dengaan berbagai kegiatan akademik dan non akademik yang berguna bagi pengembangan kompetensi keilmuan dan character skill anak-anak didik.

Rasionalitas FDS ini, menurut Menteri Muhadjir, memiliki fokus pada penguatan karakter anak. “Ini bukan full day school, tapi program penguatan karakter. Bahwa delapan jam guru berkaitan dengan kerja guru, fungsi delapan jam tidak berarti mengajar, tapi bisa mengawasi murid. Delapan jam tidak berarti di dalam kelas, tapi juga di luar sekolah,” ujar Muhadjir di Jakarta, Selasa (13/6/2017) sebagaimana yang dirilis detik.com.

Program ini penuh dengan kontroversi. Ada yang mendukung, ada pula yang tidak mendukung. Kritik dan protes muncul dari berbagai kalangan seperti dari pihak NU dan KPAI. Namun ada kesan pemerintah nekat maju terus. Sejauh ini kebijakan FDS sudah diujicobakan pada 9.300 sekolah di Indonesia baik di kabupaten maupun kota. Ini artinya FDS sudah dijalankan kendatipun tidak untuk semua sekolah.

Pelaksanaan FDS ini pun belum wajib diterapkan untuk semua sekolah di Indonesia. Fullday school masih dilakukan terbatas pada sebagian sekolah saja. Tergantung kesiapan sekolah, guru, orang tua dan anak serta segala komponen yang terkait di dalam pendidikan.

Dampak Positif dan Negatif

Dampak posisif FDS yakni siswa memiliki banyak waktu untuk menimba ilmu di sekolah, berinteraksi dengan rekan-rekan di sekolah, mengisi waktu dengan kegiatan yang bersifat positif di bawah pantauan guru yang bertanggung jawab atas keberadaan anak di sekolah. Kebijakan ini juga tentu berguna untuk memaksimalkan potensi anak di sekolah.

Anak belajar materi ilmu pengetahuan dan melakukan hal-hal non akademik untuk meningkatkan karakter mereka dalam space waktu yang banyak. Selain itu juga anak dapat berkonsultasi seluas-luasnya dengan para guru di sekolah untuk lebih memahami materi pelajaran dan meningkatkan character skill mereka.

Waktu lebih banyak di sekolah sehingga dapat meminimalisir penggunaan waktu yang tidak efektif di rumah seperti santai, malas, bermain game atau melakukan tindakan negatif lain di ruang sosial (tawuran, narkoba, balapan liar) akibat pengaruh teman sebaya yang berdampak destruktif lain.

Bahkan orang tua yang sibuk bekerja akan sangat terbantu dengan keberadaan anak yang menghabiskan waktu di sekolah, sehingga membuat orang tua bekerja dengan tenang tanpa perlu gelisah berlebihan memikirkan kondisi anak selama jam pelajaran sekolah.

Dampak negatif, FDS pasti mendatangkan shock psikologis untuk anak, guru dan tentu orang tua. Anak-anak akan merasa waktu bermain mereka di lingkungan sosial semakin kurang. Guru-guru pun akan bingung dengan cara efektif untuk mengisi aktivitas 8 jam ini.

Interaksi anak dengan anggota keluarga yang lain tentu semakin berkurang. Juga les-les tambahan di luar sekolah seperti bahasa Inggris, musik, olahraga atau kegiatan pengembangan minat lainnya akan berkurang.

Dari sisi hak dan kebebasan anak untuk mengaktualisasikan diri dan mengekspresikan diri di luar jam sekolah pun semakin berkurang atau sempit. Apalagi jika ada anak SMA/SMK yang sudah ikut bekerja membantu orang tua dalam bisnis atau melakukan pekerjaan lain misalnya bekerja di bengkel, menjaga tokoh, berjualan, bekerja di kebun dll.

Kendatipun kontroversial, kita patut mengapresiasi Program FDS ini sebagai suatu langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. FDS ini bagus dan positif untuk meningkatkan kompetensi ilmu dan keahlian karakter anak-anak kita yang tertata dengan baik di bawah pengawasan para guru.

Guru-guru diharapkan semakin maksimal melakukan eksplorasi keilmuan di sekolah untuk meningkatkan perkembangan dimensi intelektual, emosional dan psikomotorik anak-anak didik kita.

Belajar dari Finlandia

Finlandia pada awalnya merupakan negara dengan kualitas pendidikan yang rendah dan buruk di antara negara-negara lain di dunia. Namun berkat kebijakan yang ditempuh oleh Kementerian Pendidikan negara itu, Finlandia kini menjadi negara dengan sistem pendidikan yang terbaik di dunia dan anak-anak mereka nomor 1 di dunia.

Luar biasa Finlandia! Waktu belajar sangat sedikit. Tidak ada pekerjaan rumah (PR). Anak lebih banyak melakukan aktivitas yang tidak membuat mereka stress di sekolah. Anak melakukan aktivitas dengan hati gembira karena berada di antara teman-teman sebaya mereka. Senang itu iklim yang perlu diperhatikan pertama kali di lingkungan sekolah.

Anak-anak belajar, olahraga, bermain musik dan latihan-latihan lain di sekolah dengan gembira. Sepulang rumah, anak tidak mengerjakan PR. Semua pekerjaan rumah dikerjakan di sekolah.

Waktu pulang rumah, anak hanya beristirahat dan menghabiskan waktu bersama orang tua dan anggota keluarga lain. Mereka sungguh menikmati kebersaman bersama keluarga seperti menonton TV, berenang, panjat pohon dan melakukan aktivitas lain yang rekreatif dan menyenangkan bersama keluarga.

Soal biaya? Tidak masalah. Tidak ada pungutan biaya sekolah dari orang tua. Pemerintah menanggung biaya pendidikan sekolah. Hampir semua sekolah dinegerikan. Jumlah sekolah swasta sedikit.

Guru-guru mengajar bukan dengan metode yang disukai guru, tetapi dengan menerapkan metode yang disukai anak-anak dan mengajar dengan memperhatikan apa yang diinginkan anak-anak bagi masa depan mereka yang lebih baik. Kondisi keamanan masyarakat sangat bagus.

Anak pergi sendiri ke sekolah tanpa diantar dan tidak perlu takut pada penjahat yang menculik. Kesadaran moral dan penghargaan pada manusia sangat tinggi. Mereka mandiri dan tidak takut pergi sendiri ke sekolah. Masyarakatnya berkarakter humanis dan respek pada subjek manusia.

Anak-anak pun tidak sibuk memikirkan masa depan mereka, karena masa depan itu sendiri belum ada dan akan menjadi apa mereka nanti itu toh akan terjadi ketika mereka dewasa. Maka itu bukan urusan sekolah untuk mengaturnya. Menarik!

Indonesia Beda dengan Finlandia

Itu tadi kisah dari Finlandia. Indonesia bukan Finlandia. Dari aspek penguatan institusional, kebijakan FDS Indonesia ini tentu memberikan dampak positif pada penguatan fungsional lembaga pendidikan (sekolah) sebagai tempat yang efektif bagi transfer iptek dan nilai-nilai karakter manusia (humaniora) kepada anak didik.

Sekolah ditempatkan fungsinya sebagai pusat kegiatan akademik dan non akademik bagi anak dalam bertumbuh dan berkembang. Lembaga-lembaga kursus dan pendidikan non formal di luar sekolah patut bekerja sama dengan pihak sekolah untuk menyelenggarakan aktivitas ekstrakurikuler di sekolah untuk mengembangkan potensi dan bakat anak-anak didik seperti melatih semangat cinta tanah air, jujur, dll.

Lembaga sekolah yang mungkin saja selama ini dianggap hanya sebagai tempat singgahan formal anak untuk sementara saja, tampaknya akan lebih kuat fungsinya secara esensial untuk membentuk manusia berpendidikan.

Sekolah tidak hanya akan sebatas aspek formalitas saja untuk naik ke jenjang ke level selanjutnya, tetapi diharapkan menjadi tempat atau laboratorium yang semakin ideal untuk membentuk kualitas kepribadian (personality) anak bangsa.

Karena waktu 8 jam anak dihabiskan anak di sekolah, maka pihak sekolah tentu juga harus sungguh mempersiapkan segala sarana, prasarana dan fasilitas yang dibutuhkan oleh anak di sekolah dengan baik sehingga sekolah sebagai laboratorium manusia semakin intensif dilakukan.

Anak diberi ruang untuk belajar, mencoba, bereksperimen, berdebat, bermain, berekreasi, bersosialisasi, berlomba, mengekspresikan diri dan sebagainy. Pihak sekolah harus mengatur schedule (penjadwalan) dengan baik dan pemanfaataanya dimanaj rapih dan benar sehingga guru dan anak di sekolah merasa ‘at home’.

Selain itu juga karena waktu anak lebih banyak di sekolah, maka para guru harus memastikan karakter diri mereka sendiri semakin professional sebagai guru. Para guru harus mampu semakin menjadi contoh dan suriteladan yang baik dan ideal di sekolah.

Guru dipastikan harus menjadi role model bagi anak didik di sekolah. Bahkan guru harus berperan lebih bukan saja menjadi guru melainkan harus juga mampu menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak di sekolah.

Para guru diharapkan mampu memberikan cinta dan perhatian serta kasih sayang kepada anak didik selama berada di sekolah sehingga ruang sekolah sungguh menjadi laboratorium yang humanis penuh cinta.

Pengkondisian iklim sekolah yang penuh dengan kondisi kenyamanan bagi anak-anak harus juga diperhatikan agar anak mereka senang dan enjoy di sekolah dan bukannya stress dan frustrasi.

Selain itu juga karena interaksi anak dan guru semakin intensif dan panjang di sekolah, maka perlu guru menghindari sikap-sikap yang tidak etis selama di sekolah seperti malas, kurang kreatif, tidak terbuka, otoriter dan karakter-karakter negatif lain yang kontra nilai-nilai kemanusiaan.

Pihak sekolah harus memastikan diri bebas dari berbagai pengaruh buruk termasuk penyebaran dan penanaman virus negatif yang buruk pada anak seperti sikap-sikap negatif yang berkaitan dengan unsur SARA, diskriminatif, intoleran, radikalis, fundamentalis, eksklusif dll.

Sekolah harus dipastikan berwawasan humanis, toleran, religius, etis, nasionalis, dan inklusif. Hal-hal ini perlu diperhatikan dengan serius agar FDS sungguh menjadi surga dan rahmat bagi anak didik dan bukannya neraka dan bencana bagi anak-anak kita.

Pelaksanaan FDS tentu tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan semua pihak. Orang tua, masyarakat, pemerintah dan semua lembaga terkait perlu bersinergi dengan baik.

Pelaksanaan FDS ini pun harus dievalusi (diteliti) oleh pemerintah agar dapat diukur dampak kemajuan dan efektivitasnya mendidik anak dalam meningkatkan kompetensi ilmu dan character anak didik. Pelaksanaan FDS ini pun harus memperhatikan unsur budaya, kearifan lokal, nilai-nilai kebangsaan dan aspek kesiapan sekolah.

Kendatipun kontroversial, tidak ada salahnya kita terbuka untuk menerima dan melaksanakan Program FDS ini. Toh semuanya bermaksud baik dengan satu tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak didik kita dan pengembangan kualitas SDM bangsa.

Pemerintah tentu juga harus mempersiapkan alat ukur melibatkan akademisi dan universitas untuk melakukan riset awal dan lanjutan terhadap pelaksanaan program ini. Jika setelah dievaluasi ternyata lebih banyak dampak negatif dan pengaruh negatifnya bagi anak didik, FDS layak dipertimbangkan kembali dan bahkan jika perlu harus dicabut.

Namun untuk sementara, kita terbuka saja dan memberi kesempatan bagi pemerintah untuk merealisasikan tujuan mulia FDS bagi sekolah untuk mendidik anak-anak kita demi pemerkuatan karakter bangsa.

DR. Frederikus Fios, S.Fil, MTh

Dosen Character Building Universitas Bina Nusantara Jakarta, Wakil Direktur Litbang Vox Point Indonesia, Pendiri Institut Pendidikan Agama Katolik (IPAK) Parung Panjang, Jawa Barat.

Related Articles

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Articles