Tetap Bertekun dalam Iman Meskipun Merayakan Misa 4 Kali Setahun, Amorpost.com – Komunitas Canteiro do Caiari adalah salah satu komunitas di pinggiran sungai Madeira, Amazonas, yang ikut terendam luapan air sungai Madeira. Kami harus menggunakan voadeira atau perahu motor untuk mencapai komunitas ini hingga di pintu rumah. Sementara kapal misi, si pastoran apung Egidio Viganó, kami tambatkan di pinggiran sungai Madeira.
Komunitas ini tidak punya kapela. Misa atau ibadat selalu dilangsungkan di rumah Dona Luíza. Dia sudah berusia 85 tahun. Tinggal sendirian. Anak-anaknya semua sudah berkeluarga, tinggal di rumah sendiri dan sebagian besar tinggal di komunitas atau tempat lain yang jauh. Hanya beberapa orang anak yang tinggal di komunitas yang sama.
Ada sekitar tujuh rumah di komunitas itu. Semuanya adalah rumah dari anak dan cucu Dona Luíza.
Sore itu hujan cukup lebat. Begitu agak redah kami putuskan untuk segera ke rumah Dona Luiza. Dengan menggunakan mantel, kami berperahu ke sana.

Kami melewati beberapa rumah yang juga tergenang air. Pintu rumah Dona Luíza terbuka ketika kami tiba. Irmã Ivone menyapanya. Tidak ada jawaban. Nama Dona Luíza dipanggil sekali lagi. Terdengar suara kecil dari dalam. Ivone memberi tanda supaya kami naik ke rumah panggung Dona Luíza.
“Ini kami dari kelompok misionaris. Ibu baik-baik saja? Masih ingat saya?” tanya Ivone sambil menanggalkan mantel hujannya. Dona Luíza langsung mengenali Ivone. Mereka berpelukan. Ivone pun memperkenalkan saya.
Dona Luíza sementara berbaring ketika kami tiba. Luapan air membuat dia tidak bisa ke mana-mana. Usia rentah mengharuskan dia untuk di rumah saja. Apalagi dia punya problem tekanan darah tinggi dan lututnya yang sering sakit. Anak-anak dan cucunya yang mengurus makan minumnya. Malam hari bergantian mereka tidur dengan dia di rumahnya.
Begitu tahu kami dari kelompok misionaris, Dona Luíza langsung menarik meja kecil yang terletak di sudut rumah untuk dijadikan meja altar. Saya membantu dia. Lalu, dia mengambil kain meja. Ia menyiapkan lilin juga satu piring untuk dijadikan tempat derma.
Sesekali Dona Luíza melirik ke pintu. Anak-anaknya belum juga datang. Padahal mereka sudah tahu tentang kunjugan kami. Sudah lewat pukul dua sore, waktu yang dijadwalkan untuk pertemuan dan perayaan ekaristi. Ivone coba menenangkan Dona Luíza dengan menanyakan kesehatan dia.
Mereka lalu bercerita. Tetapi Dona Luíza tetap tidak tenang. Dia menengok terus ke arah pintu. Sesekali dia bangun menuju jendela kamarnya yang menghadap ke rumah anak perempuannya. Berharap mereka segera datang.
“Tenang saja Dona Luíza. Sebentar lagi pasti mereka datang. Kami juga tidak begitu tergesa. Mari kita ngobrol dan cerita-cerita saja,” kata Ivone menenangkan Dona Luíza.
“Saya ke sana saja panggil mereka,” kata Dona Luíza.
“Jangan! Duduk saja di sini. Mereka pasti datang,” timpal Ivone.
Saya terpana. Dona Luíza pasti tidak bisa menuruni tangga rumahnya karena lututnya yang sakit itu. Belum lagi genangan air yang setinggi lutut orang dewasa. Bagaimana mungkin dia mau memanggil anak-anaknya untuk segera ke rumahnya?
Wajah Dona Luíza berubah cerah ketika muncul Sebastiana, salah seorang anak perempuannya. Dia sedang cuci ketika kami lewat depan rumahnya menuju rumah Dona Luíza. Dia terlambat datang karena masih membereskan cuciannya.
Dia tidak sendirian. Dia bersama dua anak perempuannya dan adik iparnya. Semuanya perempuan. Kami bertegur sapa dan saling memperkenalkan diri. Tidak ada lagi yang datang mereka yang sudah hadir.
Kami pun merayakan ekaristi dalam nuansa yang sederhana dan familiar.
Sebastiana membawakan bacaaan sementara Andrea, menantunya, yang mengangkat lagu selama perayaan berlangsung. Semua berpartisipasi.
Dona Luíza adalah satu dari sekian kaum ribeirinhos yang tetap berteguh dalam iman. Dia terlahir sebagai katolik dan tetap mempertahankan imannya hingga usia tuanya. Imannya itu dia wariskan ke anak-anaknya sehingga perayaan ekaristi di setiap kunjungan selalu dibuat di rumahnya.
Tidak semua komunitas yang kami kunjungi tidak memiliki kapela. Beberapa komunitas menggunakan ruang sekolah untuk merayakan ekaristi bersama. Ada juga yang berkumpul di rumah salah satu keluarga. Ini umumnya di komunitas yang hanya terdiri dari dari satu keluarga besar saja. Ada komunitas yang kapelanya sudah rubuh waktu banjir besar tahun 2014 lalu. Ada juga yang sementara dibangun.
Meskipun demikian, dari satu komunitas ke komunitas yang lain kami selalu bertemu umat yang mau merayakan ekaristi bersama. Entah sedikit atau banyak, yang pasti selalu ada orang. Mereka juga adalah umat Allah yang membutuhkan siraman rohani dan kunjungan kami.
Dalam kesederhanaan, mereka tetap memihara iman mereka.
Kunjungan kami ke komunitas-komunitas itu hanya empat kali setahun. Itu berarti hanya empat kali setahun mereka bisa merayakan ekaristi bersama. Bahkan ada satu komunitas yang mendapat kunjungan hanya dua kali.
Itu karena jarak dan susahnya medan yang harus ditempuh untuk bisa mencapai komunitas itu. Komunitas itu adalah São Francisco de Uruapiara. Irmã Ivone bercerita bahwa kunjungan pertama tahun ini gagal dibuat karena mereka tidak menemukan jalan menuju komunitas itu. Waktu itu banyak tumbuhan eceng gondok yang memenuhi danau dan rawa-rawa sehingga mereka susah menemukan jalan menuju ke sana.
Juga tidak di semua komunitas umat berkumpul bersama pada hari minggu untuk merayakan ibadat sabda. Itu karena tidak ada orang yang mau memimpin ibadat sabda. Meskipun demikian, ada juga yang dengan setia merayakan ibadat atau doa bersama setiap hari minggu.
Karena itu, kaum ribeirinhos tidak terbiasa dengan sebuah perayaan ekaristi. Sebelum perayaan ekaristi Irmã Ivone mengecek urutan lagu-lagu, mempersiapkan orang yang mau membawakan bacaan. Ketika misa berlangsung pun tidak semua tahu dan mengambil bagian dalam jawaban-jawaban umat waktu dialog dengan imam yang memimpin ekaristi.
Saya pernah mengeluhkan kenyataan itu kepada Irmã Ivone. Dia membenarkan kenyataan itu. “Memang ini kenyataan yang harus kita hadapi. Tetapi kita tidak bisa menuntut banyak dari mereka. Kita juga harus mengerti bahwa mereka bisa merayakan ekaristi hanya empat kali setahun. Mereka tidak terbiasa dengan semuanya itu,” katanya.

Yang paling penting, menurut Ivone, adalah kami sebagai kelompok misionaris tetap mendampingi dan mengunjungi umat yang terpencil itu. Kami harus membantu mereka tetap berteguh dalam iman Katolik. Tugas kami sebagai misionaris adalah ada dan berjalan bersama umat dalam kesederhadaan mereka.
“Saya bisa merasakan bahwa Tuhan ada bersama dengan mereka meskipun kita sebagai kelompok misionaris hanya berkunjung empat kali setahun dan hanya sebentar saja kita berada besama dengan mereka dalam setiap kunjungan. Keyakinan ini adalah kegembiraan saya sebagai seorang misionaris,” kata Irmã Ivone.
Saya pun mengamini kata Irmã Ivone. Bagi saya, iman umat kaum ribeirinhos tidak tergantung dari banyak atau sedikitnya perayaan misa atau kunjungan kelompok misionaris atau pun keberadaan seorang pastor atau suster di tengah mereka.
Iman mereka tergantung pada Tuhan yang mengaruniakan iman itu kepada mereka. Riberinhos adalah kaum pinggiran yang terpencil.
Namun mereka adalah contoh tentang bagaimana berteguh dalam iman sekalipun hanya bisa merayakan misa dan mendapat kunjungan pastor empat kali setahun.
[…] Baca juga: Tetap Bertekun dalam Iman Meskipun Merayakan Misa 4 Kali Setahun […]